Wednesday, June 1, 2016

#INTJRevelation: Saat Seorang INTJ Merasa Emosional

(Kalau kalian penasaran dan ingin tahu penjelasan lengkap mengenai tes MBTI versi Wikipedia, kalian bisa klik di sini. Sedangkan untuk penjelasan lengkap mengenai INTJ versi Wikipedia, kalian bisa klik di sini)

Jadi ceritanya kemarin saya tidak bisa tidur dan terjaga hingga pukul dua pagi. I can directly tell you that I totally hate it. Kenapa? Karena sebagai seorang manusia yang memiliki trait 'T' (Thinking) , tidak-bisa-tidur itu hasilnya sama dengan otak-akan-bekerja-semakin-keras-dari-biasanya. 

Saat tidak bisa tidur, otak saya terus-menerus menghasilkan gambaran-gambaran dan rencana-rencana yang bahkan sebenarnya sering tidak masuk akal. Sebagai seorang pemikir, jujur saja, di malam hari, ide yang sulit didapat di siang hari justru bertaburan dimana-mana bak hamparan meses di atas kue terang bulan (nah lho, laper kan ente). Namun begitu, ide-ide ini mayoritas jadi tidak tersalurkan karena terganjal faktor fisik yang sudah kelelahan.




Akhirnya apa yang terjadi? Ujung-ujungnya saya hanya bisa merenung sambil memandangi kotak-kotak asbes. Saya jadi sedikit emosional. Sekalipun begitu, jangan kira saya bakal langsung menangis semalaman hingga kedua kantung mata saya menjadi segede-gede bola tenis.

Saya orangnya jarang menangis. Saya hanya menangis ketika saya mendapatkan masalah yang solusinya out of logic. Saya hanya menangis ketika saya mendapatkan masalah yang mengharuskan saya menggunakan 'hati' untuk memecahkannya.

Nah, dalam kesempatan kali ini, saya akan membongkar beberapa rahasia kecil lain tentang apa sih yang dipikirkan dan dilakukan oleh seorang INTJ ketika doi merasa emosional. Berikut poin-poinnya,


Yang Dipikirkan

1.    Being Emotional is Somehow Embarassing, Therefore We Rarely Show It Off

Saat merasa emosional, seorang INTJ JELAS tidak akan langsung menampakkannya di depan orang lain. Kenapa? Pertama, we surely have serious trust issues dan kedua, menjadi emosional itu menurut kami bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. 

Sebagai seorang perfeksionis, menjadi emosional itu sebenarnya kami anggap sebagai suatu bentuk 'kegagalan'. Dan seperti manusia normal lainnya, kami menganggap bahwa 'kegagalan' itu adalah suatu hal yang 'memalukan'. Maka dari itu, kami akan berusaha keras untuk selalu menutupi 'kegagalan' tersebut. Terdengar berlebihan? Mungkin. Namun bagi saya pribadi, fakta ini memang benar.



(image source)

As an introvert, INTJs also truly believe in the power of  having 'layers' (in terms of showing who they are). Iya, Introvert itu ibarat bawang merah yang punya banyak 'lapisan'. 

Gak sembarang orang lho yang beruntung dapat melihat sisi emosional seorang Introvert (apalagi seorang INTJ). Ini karena bagi para Introvert, memperlihatkan sisi emosional mereka itu sifatnya super duper sakral. Mungkin hanya kalangan orang-orang sakti saja yang dapat melihatnya (wkwk enggak, ding. Yang barusan itu lebay).   


2.    Being Emotional is Considered as a Waste of Time. Yet, We still need it


(image source)
Saya menganggap menjadi emosional itu nyaris tidak ada untungnya. Satu-satunya keuntungan yang bisa didapat dari menjadi emosional ialah kita bisa melaksanakan nature kita sebagai manusia. 

Iya, tentu saja menjadi emosional adalah bagian dari kegiatan yang 'memanusiakan' kita. Bagaimanapun, saya tidak setuju kalau kita menggunakan pernyataan tadi sebagai alasan untuk selalu bertindak secara emosional. 


Yang Dilakukan

1.    Mengungkapkan Rasa Emosional pada/Melalui Media Tertentu 

Seorang INTJ pasti memiliki sebuah media yang sifatnya privat dan personal guna menyalurkan rasa emosional mereka yang begitu 'menyiksa'. Media itu bisa berupa hobi, meditasi, atau bagi saya, media itu berupa apa yang selalu disebut sebagai 'bunga tidur' alias 'mimpi'.

Alam bawah sadar saya cukup sering secara 'licik' mencekoki saya dengan mimpi-mimpi emosional yang simbolis. 


(image source)
Contohnya nih ya, saya sudah berkali-kali bermimpi berteriak pada seseorang (sebut saja si 'dia') yang notabene adalah orang yang sudah membuat saya trauma akan banyak hal dan terus terang saja, saya sudah cukup lama tidak bertemu dengan 'dia'. 

Di dalam mimpi itu, saya meneriakkan seluruh keluh kesah yang tidak bisa saya sampaikan di kehidupan nyata akannya, tepat di depannya. Namun begitu, selalu ada 'penghalang' yang membatasi kami di setiap mimpi seperti dinding kaca, para sahabatnya, atau saya tiba-tiba kehilangan suara saya di tengah percakapan. Respon dari 'dia' pun selalu sama, dia hanya diam dan menangis. Anehnya, respon ini begitu berlawanan dengan kepribadian aslinya yang selalu marah-marah dan mengutuk. 

Ya, saya rasa sederhana saja. Ini adalah refleksi dari keinginan diri dan emosi saya sebagai seorang INTJ yang sangat sulit untuk saya ungkapkan pada realita. Alhasil, semuanya pun jadi tercermin di dalam mimpi, deh. Bagaimanapun itu, terbangun dari mimpi macam ini selalu berhasil membuat saya sakit kepala. Menyebalkan deh pokoknya.


2.       Belajar Dari Rasa Emosional Tersebut


(image source)

I know it sounds pretty cliche but this is simply what we do after having an emotional wreck


Nah, kesimpulannya, saya hanya mau klarifikasi saja bahwa se- 'kaku' apapun dan se- 'robot' apapun seorang INTJ, dia tetap seorang manusia yang bisa merasa, kok. Hanya saja, level dan frekuensi nya bisa dibilang jauh lebih rendah dari mereka yang memilik trait 'F' (Feeling). 

Kami merasa ketika kami perlu untuk merasa.

So, don't get us wrong because Socrates said,

" A system of morality which is based on relative emotional values is a mere illusion, a thoroughly vulgar conception which has nothing sound in it and nothing true. " 
Share:

0 comments:

Post a Comment