Wednesday, November 20, 2019

(Impresi Day 3) Kelas Filsafat Dasar LSFD 2019: Kelas Residensi II - Bagian 2

(Disclaimer: artikel ini bakal panjang karena saya benar-benar merangkum impresi saya selama kelas berlangsung. So sit back, relax, and enjoy!)

---- LANDJOED ----

Sama seperti kemarin, setelah kelas meditasi maka terbitlah waktu ishoma dan makan-makan🍚🍴.  Acara makan-makan kali ini lebih seru karena para peserta sudah lebih saling mengenal. Bahkan, di tengah sesi makan-makan, si Ika, Mas Rijal, dan beberapa peserta lainnya kompak main musik dan nyanyi-nyanyi bareng (suara Ika ternyata merdu sekalee🎶). Serasa bersantap sambil mendengarkan live music, deh. 😄 

(source)
Kalau saya, sembari makan-makan sempat berbincang dengan Mbak Dika terus bercanda bareng Nico, Mbak Aul, dan Mas Krisna tentang Nico yang ternyata keranjingan meditasi tadi haha. Setelah pukul 7 malam, baru deh kami masuk ke kelas Etika oleh Mas Yogi yang juga didampingi oleh Mas Ricky. Apakah saya bakal berubah jadi makhluk yang lebih beretika setelah materi ini? Hm, hal tersebut akan terjawab setelah pesan-pesan yang berikut ini😏😆.

Kelas Etika


(source)

Tentang materi etika, sebenarnya saya sih jujur tidak tertarik-tertarik amat. Maklumlah, saya ini orangnya agak risih dan gampang bosan kalau bahas yang formal-formal macam etika ini. Tapi, saya sendiri sadar sih kalau materi ini penting karena saya adalah makhluk sosial yang harus saling menghargai dan bermoral pada sesama. Jadilah saya mendengarkan dengan seksama penjelasan-penjelasan ringan dari Mas Yogi.

Cuplikan PPT Kelas Etika
Etika ini bisa dibilang juga sebagai philosophy of action. Para peserta pun diberitahu jenis-jenis nilai, norma, dan moral yang nantinya akan membentuk etika sikap dan perilaku manusia. Mas Yogi juga mengungkapkan bahwa etika dan etiket itu berbeda adanya.

Etiket itu lebih cenderung pada tingkah laku sopan santun yang disetujui oleh suatu golongan. Contohnya seperti di Jawa, kalau yang jauh lebih muda bertemu dengan yang lebih tua atau lebih berkedudukan, maka ya etiket-nya wajib cium tangan. Dan etiket di setiap tempat atau golongan itu bisa berbeda-beda. Sedangkan kalau etika itu adalah nilai moral yang ada di setiap manusia. Bisa jadi universal.


Cuplikan PPT Kelas Etika

Etika pun dibagi ke etika teologis dan etika deontologis. Etika teologis bakal merujuk ke aliran hedonisme (hidup untuk mencapai kesenangan), Eudaimonisme (hidup untuk menjadi well-being), dan Utilitarianisme (hidup untuk mencapai general good, welfare of humankind). Kalau Deontologis, moral itu lebih didasarkan pada tujuan atau peraturan. Jenis etika ini bakal erat referensinya pada Immanuel Kant dan teori Categorical Imperative-nya.  Lalu, bagi kalian yang sudah pernah baca tentang teori etika ala Kant, ya pasti tidak asing dengan The Trolley Problem kan? Nah, maka pada kelas ini juga Mas Yogi memantik diskusi tentang problema ini di kelas.


Oh iya, setelah itu Mas Yogi pun sempat memperlihatkan trailer film yang punya unsur etika kuat berjudul A Taxi Driver. Film ini adalah sebuah film Korea Selatan yang menceritakan kisah seorang supir taksi miskin yang hidupnya berubah setelah mengantarkan seorang wartawan asing ke daerah konflik (at least, itu sih yang saya tangkap dari trailer film yang ditunjukkan). Saya belum nonton filmnya tapi asli tertarik banget karena ceritanya tentu menarik dan pemain utamanya adalah aktor Korea kawakan favorit saya, Kang-Ho Song (saya masih terkesima banget dengan aktingnya di Parasite kemarin omg💖).

Untuk kesimpulan kelas etika ini, tentu saja sangat membuka wawasan saya tentang banyak perspektif permasalahan hidup yang ada di sekitar kita. Tentang bagaimana seharusnya kita lebih menghormati sesama, mengutamakan serta tidak mengesampingkan HAM pada setiap orang, dan sebagainya. Lumayan deh untuk bekal saya lebih bermoral dan beretika di masa depan hehe.

Kelas Estetika II


(source)

Eitsss
, sebelum lanjut ke kelas estetika, Mas Ricky tiba-tiba memberikan beberapa lembar kertas untuk dibagikan pada para peserta. Siapa sangka, ternyata ada kuis dadakan😱. Matilah saya, saya auto tidak percaya diri. Ada empat buah pertanyaan yang wajib dijawab pada kertas tersebut; yakni, siapa dua nama filsuf yang kerap muncul selama dua hari residensi, seperti apa ciri filsafat dari kedua filsuf tersebut, apa pelajaran yang bisa dipetik dari filsafat kedua filsuf untuk hidupmu, dan materi filsafat mana yang diajarkan selama residensi yang menjadi materi favoritmu (disertai satu kata untuk mendeskripsikannya).

Berhubung saya malas nulis jawaban panjang-panjang (kebiasaan dari kuliah yang masih belum hilang lol), ya saya tulis jawabannya secara singkat-singkat saja. Secara berurutan, saya menjawab Plato dan Aristoteles, Plato cenderung moralis dan Aristoteles itu empiris, saya harus jadi orang yang bijak dan logis, dan metafisika (melampaui). Saya sempat melirik ke arah teman-teman yang lain, dan mereka jawabannya nampak panjang-panjang sekalee. Hm, ya sudahlah ya, bodo amat😜.

Kalau sudah selesai menjawab, peserta disuruh mengumpulkan jawabannya ke Mbak Dika yang sudah menunggu di halaman depan galeri bersama Mas Wenang. Oh iya, jangan lupa untuk mengumpulkan karya seninya juga ke Mas Wenang. Saya pun mengumpulkan jawaban kuis di urutan kedua. Wah, langsung segar juga rasanya keluar dari galeri dan menikmati udara malam.

(source)
Setelah semuanya rampung mengumpulkan jawaban kuis dan karya seninya, semuanya duduk membentuk setengah lingkaran menghadap pohon Plumeria. Mas Wenang pun berdiri di depan untuk memandu kelas. Tanpa banyak cincong, Mas Wenang langsung meminta satu-dua peserta untuk mengungkapkan opininya mengenai video proses berestetika kemarin. Saya sempat senang setelah dua orang peserta laki-laki sudah maju, sebab ini berarti kesempatan saya untuk maju jadi semakin berkurang haha. Eh, tapi yang namanya nasib, ternyata untuk perwakilan peserta perempuan, saya yang disuruh maju dong. Meh, apa boleh buat.😑


Ya sudah, saya maju saja dan langsung menyampaikan pendapat saya tentang video tersebut (kalau mau tahu videonya, ada di artikel sebelumnya yaa). Kurang lebih, opini saya bunyinya seperti ini: penciptaan sebuah kreasi atau karya seni memang memiliki cara dan menampilkan objek yang berbeda-beda, namun ada dua hal yang menyamakan proses penciptaan atau proses berestetika. Pertama adalah bagaimana karya seni yang berbeda-beda tadi sama-sama merupakan hasil ekspresi diri termurni dari sang seniman dengan segala subjektivitasnya. Dan yang kedua adalah, dalam proses berestetika selalu ada yang namanya jatuh bangun (di dalam video ditandai dengan peristiwa banting kanvas, sampai menenggak alkohol, dll), tapi justru dari momen itulah para seniman sama-sama mendapatkan momen katarsisnya, momen di mana karya seni yang diciptakan akhirnya mendapatkan ide dan eksekusi utuhnya yang sejati.


Pfuhh, lega juga setelah memaparkan opini saya yang masih jauh di bawah opini teman-teman lainnya tersebut😅. Setelah itu, baru deh satu-persatu peserta presentasi hasil karya seni mereka masing-masing. Semuanya kebagian untuk maju, kok. Ada yang karyanya sarat makna seperti mengundang kritik sosial atau melambangkan pencarian eksistensi diri. Hingga, ada juga karya seni yang sarat guna seperti milik salah seorang peserta yang membuat asbak karena di tempat kos-nya tidak ada asbak😅. Kalau punya saya kebetulan adalah sebuah puisi Bahasa Inggris yang saya buat sekitar dua tahun lalu untuk hadiah ulang tahun diri saya sendiri. Kenapa memilih puisi tersebut? Ya, soalnya saya malas saja mau membuat karya yang baru wkwk.

Mas Wenang dan Pak Bambang
Di akhir kelas, tiba saatnya Mas Wenang mengundang Pak Bambang selaku seorang seniman dan pemilik Dialectic Gallery untuk menilai karya seni peserta. Tapi ternyata, Pak Bambang mengungkapkan kalau beliau tidak punya kapasitas untuk menilai karya seni para peserta yang unik-unik itu. Alhasil, menurut Pak Bambang, semua karya seni peserta adalah karya seni yang bagus dan indah karena semuanya adalah bentuk ekspresi diri yang patut diapresiasi. Hehe, jadi semakin respect pada Pak Bambang. Saya pun ikut berterima kasih pada beliau atas kerelaan 'perusuhan' galerinya selama dua hari residensi ini. Terima kasih banyak, Pak Bambang!💖

Maaf Narsis wkwk (source)
Nah, dengan begini, pihak LSFD yang awalnya mau membagikan 13 hadiah untuk karya seni terbaik akhirnya berubah haluan. Hadiah tetap dibagikan, tapi bukan dengan pertimbangan penilaian karya seni melainkan penilaian kuis dadakan tadi. Saya sih tidak ngarep ya, mengingat jawaban kuis saya yang pendek-pendek bak jawaban perempuan lagi ngambek berat wkwk. Ehh, tapi tak disangka, ternyata saya salah satu yang dapat hadiah juga😂. Sudah begitu, saya jadi satu-satunya Kaum Hawa yang dapat hadiah tersebut. Semakin girang dong saya.

Notes, Buku Modul, dan buku Matinya Metafisika Barat

Lebih bahagianya lagi, hadiah tersebut adalah buku filsafat! Kalau kalian sudah baca artikel saya yang ini, maka kalian pasti bisa tebak betapa senangnya saya dapat hadiah tersebut. Kebetulan, saya juga dapat buku tentang metafisika dengan judul Matinya Metafisika Barat oleh Donny Gahral Adian. Saya bersyukur sekali mendapatkan buku ini karena saya suka metafisika dan masih perlu banyak belajar lagi soal cabang filsafat yang satu ini. Sudah begitu, buku ini diterbitkan oleh penerbit indie bernama Komunitas Bambu, yang mana pasti bakal sulit untuk menemukan buku-buku terbitannya di toko-toko buku besar. Ketiganya, siapa sih yang tidak girang kalau tiba-tiba diberi buku bagus nan gratis?!?! (hehe)

Uwu (source)
Selesai sepatah dua kata dari Pak Bambang dan acara pembagian hadiah, kami semua peserta residensi, anggota LSFD, dan Pak Bambang berfoto bersama di halaman galeri. Yang bikin ngakak, teman-teman sepakat untuk berpose ala meditasi yang sudah diajarkan selama dua hari ini. Astaga.😂

Kesimpulan Kelas Residensi II 

Kelas residensi II memang bukan titik akhir dari rangkaian kelas filsafat dasar LSFD 2019 ini. Tapi, ada secercah perasaan sedih karena kelas 'intensif' ini telah usai. Namun begitu, tentu saja masih lebih banyak perasaan bahagianya karena ini baru titik awal dari petualangan belajar filsafat saya bersama para peserta lainnya. Masih ada banyak pertemuan lagi yang mencakup FGD hingga kelas filsafat reguler seperti kelas filsafat Yunani klasik, filsafat Barat modern, filsafat Post-modern, filsafat Timur, filsafat kritis, hingga filsafat ilmu dan filsafat sosial politik. Apalagi pematerinya tidak hanya datang dari anggota LSFD saja tapi juga dari kalangan pemuka agama hingga profesor filsafat juga😍.
Oh iya, bagi beberapa dari kalian, mungkin momen semacam ini sangatlah biasa atau bahkan tidak menarik sama sekali. Tapi, bagi saya, momen seperti inilah yang sanggup bikin saya over the moon dan pasti masuk dalam daftar momen hidup tak terlupakan😊. 
Pokoknya, saya wajib memaksimalkan semua kesempatan saya sampai kelas filsafat dasar ini berakhir karena nanti, kalau saya sudah mulai kerja (kantoran), bakal susah untuk ikut kegiatan-kegiatan seru dan bermanfaat seperti ini lagi.😔

Untuk para pembaca, seperti biasa, semoga ada manfaat yang bisa diambil walau hanya sedikit dari seri artikel impresi kelas filsafat dasar ini. Untuk FGD dan kelas filsafat reguler, saya masih belum bisa memastikan bakal membuat artikelnya atau tidak (karena kalau ditotal ada lebih dari 12 kali pertemuan dan pasti bakal kepanjangan😅). Tapi, kalaupun ada yang mau tanya-tanya lebih banyak soal pelaksanaan kelas filsafat dasar ini sampai akhir, feel free to ask me anytime!😊

Saya pun berharap seri artikel ini bisa sedikit banyak menyalakan semangat para pembaca untuk tertarik atau lebih semangat lagi dalam belajar filsafat. Pasalnya, meski ia kerap di-label-i sebagai sebuah ilmu 'langit' alias ilmu 'tingkat tinggi', namun pada kenyataannya ia justru sangat dekat dengan kehidupan dan akan terus relevan hingga akhir hayat kita nanti😊. Kalau kalian adalah orang yang ingin dan hobi membongkar banyak hal, kalian pasti tidak akan menyesal belajar filsafat. Akhir kata, menyalin dari motto yang dijunjung oleh LSFD, ex philosophia claritas!

Share:

0 comments:

Post a Comment