Tuesday, October 22, 2019

Tahu Campur Langganan: A Story of Quarter-Life Crisis

(Disclaimer: artikel ini tidak akan membahas definisi dan teori tentang Quarter Life Crisis secara gamblang, melainkan lebih kepada refleksi penulis akan krisis tersebut. Enjoy!)


Hari ini seharian hujan. Maklumlah, ini bulan November: bulan di mana ada banyak teman yang berulang tahun, namun suasananya tetap gloomy, karena langit senantiasa terlukis oleh barisan para mega mendung. Dan entah bagaimana, menurut saya hari ini adalah salah satu hari perkuliahan yang paling absurd. Saya tidak mau membeberkan alasannya, tapi cukuplah saya memberinya label sedemikian rupa. Saya masuk kuliah sekitar jam delapan pagi dan perkuliahan selesai pada jam lima sore: inilah yang saya sebut dengan rutinitas sehari-hari. Tapi ternyata, jam terakhir perkuliahan hari ini kosong. jadilah saya diajak berkaraoke oleh seorang teman perempuan saya. 

Kami pun hanya berkaraoke selama satu jam. Lepas itu saya mengantarkan teman saya tersebut pulang dan menumpang untuk salat Maghrib di rumahnya. Dan tak lama, saya sudah kembali berada di jalanan, dengan tangan kanan memaju-mundurkan gas sepeda motor dalam keadaan co-pilot alias setengah sadar. Menerpa dinginnya udara malam sambil berpikir keras untuk mengisi perut dengan menu makanan apa. 

Ilustrasi tahu campur (source)

Awalnya benak saya mengatakan untuk makan sate ayam saja. Namun entah kenapa, saya malah spontan berbelok ke sebuah warung tahu campur di daerah Sawojajar, yang mana dahulu merupakan tempat makan langganan keluarga. Demi apa, saya tidak pernah sekalipun makan di sana sendirian; saya selalu makan di sana bersama kedua orang tua dan adik lelaki saya. Saya tak akan bisa lupa kebiasaan ayah saya yang selalu memesan tahu campur dengan tulang muda. Sedangkan ibu saya selalu tidak mau pakai menyok (perkedel singkong) dan minta tambah petis. Kalau adik saya, ia tidak makan tahu campur tapi dipesankan sate ayam di warung sebelahnya, soalnya dulu ia masih kecil. 

Ya, sudah sangat lama saya tak mampir kemari semenjak perceraian orang tua saya enam tahun silam.  

Saya akhirnya memberanikan diri untuk memesan pada si penjual— yang ternyata juga sudah turun generasi. Bila dahulu si penjual adalah seorang bapak-bapak ramah yang memanggil saya dengan sebutan 'si pesek' (si hidung tak mancung), kini posisi penjual tersebut sudah digantikan oleh anak beliau. 

Sebagian perasaan saya merasa senang, karena saya jadi tidak perlu basa-basi menjawab pertanyaan tentang bagaimana keadaan orang tua saya dan kenapa kami tidak pernah ke sini lagi bersama-sama. Namun begitu, sebagian perasaan saya juga merasa sedih, karena unsur nostalgia yang saya cari di warung ini jadi tereduksi. Tanpa saya sadari, dunia seketika menjadi lebih 'dingin'. Segalanya serentak terasa baru, asing, dan menyesakkan. 

Kala duduk menunggu pesanan datang, saya belum mengalami momen keruntuhan mental yang berarti. Namun, sesudah pesanan datang dan saya mengambil sebungkus kerupuk untuk dipatahkan jadi dua, tiba-tiba kedua mata saya terasa berat sekali. Saya ingat ibu saya yang selalu melakukan hal itu untuk memudahkan saya mencelupkan kerupuk tersebut pada kuah tahu campur. Baru saat itu, saya makan dengan hati bak teriris sembilu. 

Sepulang dari warung tahu campur, saya menyetir dengan pikiran yang lebih berkecamuk. Kendati sebenarnya, saya sudah muak mempertanyakan hal-hal tersebut. Tentang bagaimana saya mau tidak mau harus mengakui derasnya arus perubahan, menerima baik-buruknya takdir, berpuasa mengutuk dan berhenti mencari kambing hitam— singkatnya, menjalani dongeng-dongeng kebajikan tentang beranjak dewasa.


Hi, Dialers!

Saya baru ingat kalau kisah tersebut saya tulis di tahun 2017. Dia sudah mangkrak di draft, dan saya benar-benar lupa kalau pernah menuliskannya di sini. Saya ingat kala itu, sesampainya di rumah, saya langsung menulis cerita tersebut lantas pergi tidur (kebiasaan mutlak saya kalau sedang sedih). Faktanya, setelah saya baca ulang, saya masih bisa merasakan dan terhanyut dalam kesedihan itu. Seakan-akan, kejadian tersebut masih baru terjadi kemarin. 

Kendati begitu, saya lega kejadian itu pernah hadir, dan sejatinya ia juga telah berlalu.

Mungkin, kesedihan di hari itu bisa begitu mendayu karena efek cuaca dan galau belum dapat judul skripsi. Di awal usia kepala dua, saya nampaknya mulai terjangkit virus mengerikan Quarter Life Crisis. Ya, tak usah menunggu sampai momen lulus kuliah, pontang-panting mencari kerja, atau saat mulai panik ditanya 'kapan nikah?' datang, saya pun sudah bisa diserang oleh krisis bajingan tersebut. Krisis di mana saya mulai beranggapan bahwa seakan menjadi dewasa sama halnya dengan 'berhenti meminta bantuan'. 

(source)

Adapun yang bisa saya katakan saat ini mengenai keadaan tersebut adalah 'It's okay. You're not the only one experiencing this shitty phase. You'll manage to get through.' 

Pasalnya, saya ingat waktu dini harinya, saya tiba-tiba terbangun dan malah mendapat ide untuk mengangkat krisis ini sebagai tema skripsi saya. Saya memang tidak secara eksplisit mengambil tema itu, sih. Tapi masih erat lah kaitannya karena mengacu pada karya sastra yang memuat nilai psikologi perkembangan ala emerging adult. Jika diingat lagi, krisis tersebut malah jadi berkah juga ya?

Saya pun bersyukur saya sudah mengenal istilah krisis ini sejak dua tahun yang lalu. Padahal, krisis tersebut nampaknya baru santer diperbincangkan baru tahun-tahun ini di Indonesia. Tak percaya? Coba deh browsing. Artikel dalam negeri yang membahas isu ini rata-rata baru dipublikasikan di tahun 2019. Mungkin karena semakin kemari, semakin timbul kesadaran bahwa pergeseran nilai zaman amatlah berpengaruh dalam ganasnya proses 'penggerogotan' yang dilakukan krisis ini. 

Terlepas dari pengalaman Quarter Life Crisis saya di atas yang tidak melibatkan gadget, perlu diakui bahwa peran gadget acap kali disinggung sebagai salah satu pemicu utama sang krisis di era sekarang. Era media sosial yang lekat dengan budaya 'pamer dan membanding-bandingkan nikmat hingga kesengsaraan hidup' memang sangatlah melelahkan mental. 

(source)
Namun kembali lagi, apa pun yang memicu Quarter Life Crisis-mu, tak ada pilihan lain selain harus tetap bangkit dan berjalan.

Bahkan walau semua itu ditunaikan dengan tanpa makna atau tanpa alasan. Karena siapa tahu, sang makna memang ingin untuk dimenangkan— bersembunyi dan menunggu untuk berjumpa di balik segala rupa rasa resahmu. Atau bahkan, lupakan saja misi menjemput makna itu. Tetaplah bangkit dan berjalan hingga sang makna yang kelak kan menjemput dan memenangkanmu.
Share:

0 comments:

Post a Comment