Monday, October 28, 2019

(Impresi Day 3) Kelas Filsafat Dasar LSFD 2019: Kelas Residensi II - Bagian 1

(Disclaimer: artikel ini bakal panjang karena saya benar-benar merangkum impresi saya selama kelas berlangsung. So sit back, relax, and enjoy!)

Hi Dialers!

Memasuki kelas residensi di hari kedua, saya ingat waktu itu cuacanya sedang panas membara dan super berangin. Debu beterbangan ke mana-mana, pokoknya bikin mata kelilipan maksimal deh. Maka dari itu, waktu saya menghampiri galeri, kok pintunya pada ditutup. Saya kira gagal ada kelas, padahal mayoritas pada mengungsi di dalam๐Ÿ˜‚. Dan hari itu Mida tidak datang, tapi saya berkenalan lebih dekat dengan seorang anak Poltekkes bernama Ika.


Ada yang Sudah Baca? (source)
Saat saya tanya kenapa tertarik belajar filsafat, ia menjawab karena filsafat kan mempelajari manusia juga, yang mana nantinya punya hubungan lekat dengan jurusannya yakni Promosi Kesehatan. Lebih detilnya, dia juga tertarik belajar filsafat setelah membaca buku Sapiens: A Brief History of Humankind. Widiih, ngeri-ngeri. Saya sendiri belum baca buku itu sih. Tapi memang sudah sering dengar dan direkomendasikan untuk segera membaca๐Ÿ˜€. Di sini, saya semakin takjub saja karena ilmu filsafat punya jangkauan dan paralelisme yang sangat luas. Saya tahu sih soal hal itu. Tapi ketika ditunjukkan contoh riil dari sekitar saya, yang tadinya hanya berupa teori-teori mendadak rasanya jadi lebih nyata.

(source)
Untuk materi yang bakal disampaikan hari ini, akan ada materi epistemologi oleh Mas Surya, kelas meditasi lanjutan oleh Falun Dafa, materi etika oleh Mas Yogi, serta pembuatan karya seni dan presentasi estetika bersama Mas Wenang. Hari kedua ini menurut saya lebih seru, lebih pecaahh, tapi juga sedikit bikin sedih (bagi saya). Mau tahu kenapa? Langsung baca saja deh semuanya di bawah!๐Ÿ˜

Kelas Epistemologi 

Mendengar kata epistemologi, saya masih ingat dulu waktu matkul Filsafat Ilmu, kata ini sering sekali didengungkan dan dibahas oleh dosen saya (sama seperti kata ontologi). Sekalipun begitu, saya tidak paham sama sekali mengenai materi tersebut dan waktu itu juga, saya belum tertarik pada filsafat hehe. Beruntunglah, di kelas filsafat dasar ini, materi tersebut akhirnya dibahas dengan jelas oleh Mas Surya dan Mas Sundana.

(source)
Oh iya, sedikit out of topic, Mas Surya ini ternyata teman dari teman saya yang pernah ikut sekolah ideologi tahun lalu di Kali Metro. Cool! Dan kabarnya, akhir tahun ini sekolah ideologi yang tidak dipungut biaya tersebut bakal dibuka kembali. Wah, jadi semakin tertarik buat ikutan nih.๐Ÿ˜

Kembali ke topik kelas epistemologi, akhirnya saya yang blo'on ini baru tahu kalau epistemologi ini merupakan filsafat pengetahuan. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang coba dijawab oleh epistemologi adalah apa itu pengetahuan, bagaimana cara mendapat pengetahuan, apakah pengetahuan itu terbatas, dan bagaimana cara mendapat pengetahuan secara benar.


Lebih lanjutnya, ketika suatu subjek meyakini sebuah proposisi, maka hal itu bisa saja didapat dari pengalaman inderawi yang aposteriori (empiris) atau menggunakan penalaran rasio yang apriori (rasionalis). Dalam hal ini, tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Immanuel Kant pun santer mencuat untuk diperbincangkan. Tak kalah menarik, disebutkan pula teori-teori untuk menilai kebenaran seperti teori korespondensi (pengetahuan itu benar jika ada kesesuaian antara pernyataan dan fakta objektif di dunia nyata), koherensi (pengetahuan itu benar bila suatu pernyataan konsisten dengan sistem pernyataan sebelumnya), dan pragmatis (pengetahuan itu benar apabila pernyataan tersebut bermanfaat bagi kehidupan itu sendiri).


Cuplikan PPT Materi Epistemologi

Seperti biasa, ada sesi tanya jawab di penghujung sesi tapi seperti biasa pula, saya lupa dengan semuanya hehehe. Untuk para pembaca, saya mohon maaf tapi, biasakanlah diri Anda dengan kapasitas memori saya yang tak jauh beda dengan Dory ya.๐ŸŸ๐ŸŸ๐ŸŸ

Kelas Meditasi

Nah, sebelum kelas meditasi dimulai, sempat ada jeda cukup lama nih. Soalnya, pihak Falun Dafa baru tiba di lokasi setelah agak sorean. Alhasil, Mbak Dika menginstruksikan para peserta untuk bisa mulai bekerja pada karya seni mereka untuk kelas estetika nanti. Hihi, lucu-lucu dan kreatif-kreatif deh ketika saya mantengin karya puisi, gambar, dan patung tanah liat dari teman-teman๐Ÿ˜‚. Contohnya, ada yang bikin gambar (literally) abstrak hingga ada yang bikin patung ikan cupang segala๐Ÿ˜‚. Astaga, hiburan banget deh pokoknya!๐Ÿ˜‚

Sambil jeda ini, saya sempat ngobrol-ngobrol santai dengan Mas Daus, Nico, Mbak Aul, Ika, Wildan, Mas Krisna, Mbak Dika dan beberapa teman lainnya. Center point-nya lebih ke Mbak Dika sih, soalnya ia banyak cerita tentang pengalaman kuliah filsafatnya, tentang keterkaitan filsafat dan jurusan-jurusan kuliah para peserta, dan beberapa hal lainnya.

Setelah Mbak Dika pergi, kami para peserta masih ngobrol sambil ndagel-ndagel enggak jelasAsli deh, kocak banget wkwk. Mas Daus pun sempat dengan malu-malu menanyakan perihal karya gambar portrait wajah wanita dan puisinya yang keren abis. Kami semua sepakat memuji dong. Tapi, Mas Daus-nya malah menampakkan raut malu-malu tidak setuju ahaha. Sedangkan Wildan dan Nico sama-sama kompak menggambar abstrak๐Ÿ˜‚. Gambar punya Nico terutama, hasilnya malah mirip seperti lambang Falun Dafa. Makanya, kami jadi menjuluki dia dengan sebutan si master Falun๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚. Dan bukannya ngeles, Nico malah mengiyakan karena ia sebenarnya nge-fans sama Falun Dafa.๐Ÿ˜‚

(source)

Setelah jam 3 atau 4 sore, barulah para praktisi Falun Dafa datang. Para peserta kembali bermeditasi di halaman depan galeri dengan mengulang gerakan-gerakan yang kemarin sudah diajarkan. Praktiknya pun masih diiringi lantunan musik yang bikin saya kepikiran putri-putri drama kerajaan Cina๐Ÿ˜…. Kendati begitu, meditasi hari ini tidak selama kemarin karena mungkin cuacanya lumayan berangin. Sebagai gantinya, kami dan para anggota LSFD disuruh untuk duduk melingkar. Para praktisi Falun Dafa ada yang ikut duduk melingkar dan ada yang duduk di tengah lingkaran.

Di momen itulah, para praktisi Falun Dafa bercerita tentang sejarah dan ajaran-ajaran apa saja yang bakal diterima jika menjadi anggota komunitas Falun Dafa. Sekilas yang saya ingat sih, Falun Dafa ini bermula dari Cina lalu menyebar ke seluruh dunia karena manfaatnya yang luar biasa. Lalu, sebagai anggota nantinya juga diwajibkan untuk membaca buku Zhuan Falun yang isinya tentang pelajaran etika dan alam semesta gitu deh. Para praktisi juga kembali menceritakan testimoni mereka setelah masuk komunitas Falun Dafa. Ada yang akhirnya sembuh dari penyakit keras, ada yang jadi berhenti merokok padahal dulu perokok berat, dan sebagainya.

(source)
Para praktisi Falun Dafa juga menekankan kalau mereka tidak memaksa siapa pun untuk ikut komunitas tersebut. Yang terpenting, kalau mau belajar untuk mengelola jiwa dan raga dengan baik, boleh banget untuk ikut Falun Dafa ini. Oh iya, Falun Dafa juga memberi beberapa petuah dan ungkapan tentang kehidupan saat sesi ini berlangsung.

Kalau saya sih paling suka dengan ungkapan dari seorang praktisi yang berbunyi: "Kalau masih muda seperti kalian-kalian ini, biasanya kalian akan tergiur dengan cara-cara yang 'instan'. Tapi, saya himbau agar kalian jangan sekali-sekali mengikuti jalan itu. Karena, itu nanti bakal termasuk sebagai yang namanya 'hutang'. Dan yang namanya 'hutang', ya nanti pasti harus 'dibayar'."

Hehe, rada-rada ngeri tapi tetap mantap jua bukan?


------ TO BE CONTINUED -----
Share:

Thursday, October 24, 2019

(Impresi Day 2) Kelas Filsafat Dasar LSFD 2019: Kelas Residensi I - Bagian 2

(Disclaimer: artikel ini bakal panjang karena saya benar-benar merangkum impresi saya selama kelas berlangsung. So sit back, relax, and enjoy!)

---- LANDJOED ----

Jadi, sehabis kelas meditasi yang lumayan melelahkan tadi, langsung sampailah kita pada jam ishoma. Jika tadi selama kelas berlangsung, pihak LSFD memberikan camilan dan air mineral untuk peserta, maka kali ini LSFD juga menyediakan makanan berat untuk disantap. Sistemnya prasmanan, dengan lauk yang sederhana tapi asli enak banget karena efek kelaparan setelah meditasi haha. Plus, karena makannya bersama-sama, akhirnya atmosfirnya juga jadi menyenangkan๐Ÿ˜.

Saat makan-makan ini, saya juga sempat ngobrol-ngobrol asyik dengan Mas Krisna dan Mida (termasuk mendapat info tidak-penting-tapi-penting dari Mida soal kenapa Nobita pemalas karena ternyata feng shui rumah Nobita tergolong jelek๐Ÿ˜‚). Oh iya, beberapa peserta juga ada yang ijin pulang karena ada acara atau alasan tertentu. Tapi tidak banyak, kok.

Selepas mengenyangkan perut dan energi sudah kembali terisi, saatnya melanjutkan proses belajar filsafat dan berfilsafat! So, leggo!๐Ÿ˜†

Kelas Estetika



(source)

Sebelumnya, saya benar-benar tidak tahu kalau dalam filsafat itu ada filsafat estetika. Maklum, materi filsafat yang kerap saya baca rata-rata hanya seputar metafisika dan eksistensialisme saja. Filsafat yang juga dikenal sebagai filsafat keindahan ini pun ternyata tergolong pada cabang aksiologi seperti etika. Dan saya baru sadar bahwa filsafat estetika ini harusnya adalah filsafat yang paling dekat dengan saya selama setidaknya dua tahun belakangan ini. 

Cuplikan PPT Materi Estetika

Ya, sebagai seorang anak sastra, ternyata materi filsafat estetika sudah sedikit banyak saya pelajari selama perkuliahan. Utamanya pada matkul Literary Criticism alias matkul Kritik Sastra. Saya pun tidak terlalu asing dengan penjelasan pemateri estetika kali ini yakni Mas Wenang. Perkembangan estetika klasik pra-sejarah, klasik Yunani, modern, kontemporer, hingga post-modern dijabarkan dengan terminologi-terminologi yang familiar di telinga saya. Mulai dari kata mimetik, era romantik, formalisme, hingga penyebutan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Derrida yang terkait sejarah perkembangan estetika. Sehingga di sini, saya merasa saya cukup diuntungkan dengan background knowledge yang saya punyai. Di materi kali ini pun, saya jadi lebih cepat paham.


Selesai presentasi tentang definisi, aneka terminologi, hingga perkembangan estetika dari zaman ke zaman, Mas Wenang menampilkan sebuah video tentang proses berestetika dari beberapa seniman. Video itu sendiri sebenarnya merupakan cuplikan dari sebuah film berjudul 'Modigliani'. Waktu video diputar, saya sih tidak tahu kalau itu adalah film tentang seorang pelukis besar Eropa. Setelah browsing di rumah, saya baru tahu kalau Modigliani ini adalah salah satu pelukis yang disegani dan punya nama yang tak kalah besar dengan Pablo Picasso. Sebagai tambahan, bagi yang sudah menonton film IT (2017), kalian pasti bakal sadar bahwa salah satu lukisan Modigliani ini sempat jadi 'momok' dari salah satu tokoh filmnya yaitu si Stanley. 

Setelah video selesai, Mas Wenang dan Mbak Dika menjelaskan konteks video bahwa di sana, beberapa pelukis besar sedang mempersiapkan lukisan untuk sebuah kompetisi seni bergengsi. Dan menurut saya sih, proses berestetika yang ditampakkan dalam video tersebut kendati pendek namun dikemas dengan amat dramatis. Kesannya jadi seperti masuk ke alam pikiran para seniman itu, deh. Biar tak penasaran, langsung saja deh putar videonya di bawah ini!

  
Nah, setelah menonton video tersebut, Mas Wenang memberi PR bagi para peserta untuk memaparkan secara singkat bagaimana proses berestetika yang terjadi dalam video itu. Besok, jawaban itu akan dibacakan di depan Mas Wenang dan para peserta yang lain (soalnya masih ada kelas estetika lagi esok hari).

Masih ada lagi PR kedua yakni memikirkan konsep sebuah karya seni dalam bentuk patung, gambar, lagu, atau sebuah puisi. Oh iya, konsep karya seni tersebut nantinya akan dieksekusi dan dipresentasikan esok hari. Bahan-bahan seperti kertas, crayon pastel, dan tanah liat pun disediakan oleh pihak LSFD. Jadi, tidak usah repot-repot pergi ke toko buat beli bahan sendiri.

Berkenaan dengan tugas kedua ini, dalam hati saya langsung ingin tertawa sekaligus merasa miris. Waduuuh, saya langsung membayangkan kalau pasti karya seni saya bakal malu-maluin nih. Dan berhubung tak bisa bikin patung, gambar, atau lagu, ya saya akhirnya memutuskan bikin puisi saja. Lagian, saya juga kan sudah tersertifikasi sebagai anak sastra๐Ÿ˜Ž.

Kelas Logika

Kalau tidak salah, kelas Logika yang dipandu Mas Rijal ini dimulai pada sekitar pukul setengah 8 malam. Jadi, terbayang kan kalau mayoritas otak para peserta sudah mulai swirling dan lagging sejadi-jadinya? Bahkan, ketika Mas Rijal bertanya apakah kami semua masih bersemangat, salah satu peserta menjawab kalau kami semua sudah dalam battery-saving mode๐Ÿ˜…. Saya juga sempat bertanya-tanya kenapa materi logika ini ditaruh terakhir saat otak kami semua pastinya sudah mulai gosong dan bau sangit. Hm, positive thinking saja, mungkin Mas Rijal baru punya kesempatan untuk memberi materi pada jam tersebut hoho.


Walau pun begitu, materi ini sebagian besar tetap bisa saya pahami berkat pembawaan materi yang ringan dan santai dari Mas Rijal. Para peserta pun akhirnya bisa mengenal definisi dan fungsi logika, jenis-jenis logika dan penggolongannya (e.g. logika mayor-minor, logika kodrati-ilmiah), cara berlogika dengan good reasoning, silogisme, hingga proses pembentukan akal budi dari pencerapan pengertian sampai ke penetapan putusan. Para peserta diberikan pula contoh-contoh penarikan logika dengan memahami kebenaran formal dan material-nya.

Seperti biasa, setelah penjelasan berakhir, dibukalah sebuah sesi tanya-jawab. Waktu itu seingat saya ada tiga orang yang bertanya, tapi saya hanya ingat dua pertanyaan saja. Awalnya, saya kira malah tak bakal ada yang bertanya karena wajah-wajah para peserta sudah pada loyo semua๐Ÿ˜…. Tapi di luar dugaan, ternyata pertanyaaan mereka malah kritis-kritis dan menarik untuk direnungkan lho.

Cuplikan PPT Materi Logika 

Pertanyaan pertama diajukan oleh seorang peserta mahasiswa yang berkuliah di jurusan PAI. Dan benar saja, pertanyaannya mengarah pada persoalan Ilmu Kalam di mana terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa manusia sejatinya boleh mempertanyakan hal-hal yang merupakan ciptaan-Nya, tapi tidak dengan Sang Pencipta itu sendiri (maaf kalau salah, kurang lebih mungkin seperti itu). Lalu pertanyaannya, bagaimana kita bisa memaknai Tuhan dengan logika? Huhu, asli pertanyaan ini jauh lebih berat ketimbang rindunya si Milea ke Dilan ๐Ÿ˜Ÿ. Sedangkan pertanyaan kedua saya lupa diajukan oleh siapa, tapi pada intinya ia berbunyi: 'kapan sih logika manusia ini bisa tunduk? Dan tunduknya itu karena apa?'

Nah, kalau boleh jujur, berhubung saya sudah agak ngantuk ya pada saat itu (mungkin efek terlalu semangat bermeditasi tadi ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚), saya sudah lupa-lupa ingat dengan jawaban kedua pertanyaan tersebut. Sedikit yang saya ingat dari jawaban pertanyaan pertama ada hubungannya dengan distingsi antara logika dan keyakinan seseorang. Karena kalau sudah bicara keyakinan itu, memang adalah suatu hal yang logika sudah sulit untuk masuk ke dalamnya. Pasalnya, kita sudah berkomitmen untuk 'percaya dan meyakini' hal tersebut.

Kalau untuk jawaban kedua, seingat saya Mas Rijal menjawab kalau logika itu bakal tunduk ketika didominasi oleh yang namanya emosi. Sebagai contoh, Mas Rijal memberi analogi simpel bagaimana para cowok bakal kerap meminta maaf pada ceweknya meski sebenarnya ia tidak salah. Jadi auto teringat lirik: 'cinta ini~ kadang-kadang tak ada logika~'๐Ÿ˜‚.

Di akhir, Mas Rijal mengungkapkan kalau pelajaran logika tidak akan dicukup dibahas hanya dalam durasi beberapa jam saja. Jadi, kalau mau belajar lebih jauh, Mas Rijal membagikan beberapa referensi buku bacaan seperti 'Logika' oleh Benyamin Molan dan 'Dasar-Dasar Logika' oleh Sumaryono. Di buku modul 'Filsafat untuk Siapapun' oleh LSFD juga bakal banyak dibahas lagi kok materi logika ini.

Kesimpulan Kelas Residensi I    

Mungkin kedengarannya berlebihan— tapi, baru kali ini saya mengalami begitu banyak momen 'wow' hanya dalam jangka waktu kurang dari sehari. Momen-momen 'wow' tersebut mencakup tentang betapa banyaknya unsur ketidaktahuan yang saya miliki, tentang bagaimana saya kerap acuh bahwa dari masa ke masa— dunia selalu berkembang dan berdialektika, serta bagaimana saya tidak seharusnya dengan naif menganggap logika saya senantiasa benar.

(source)
Kalau ditanya capek tidaknya mengikuti kelas ini, saya rasa sih lebih ke 'tidak' ya. Sebab ini adalah hal yang saya suka. Malah rasanya, waktu berjalan cepat sekali๐Ÿ˜‚. Rasanya seperti nostalgia saat saya dulu les bahasa inggris di sebuah lembaga les favorit saya, di mana durasi les selama dua jam serasa hanya lima menit karena metode pembelajarannya yang fun dan saya memang suka dengan pelajaran bahasa Inggris๐Ÿ˜„.

Sehingga kesimpulannya, saya senang dan mendapat banyak pelajaran berharga di kelas residensi pertama ini. Pada saat itu, saya juga langsung tak sabar ingin segera esok hari untuk melanjutkan kelas dan berjumpa dengan teman-teman sekelas lagi haha (astaga, saya bak anak TK yang baru masuk sekolah hari pertama wkwk๐Ÿ˜…).

Untuk keseruan kelas residensi di hari kedua, mungkin konsep artikelnya juga akan dibagi menjadi dua bagian seperti ini lagi biar tak kepanjangan. Sekali lagi, terima kasih ya sudah membaca! Sampai bertemu di artikel berikutnya! Stay curious!
Share:

(Impresi Day 2) Kelas Filsafat Dasar LSFD 2019: Kelas Residensi I - Bagian 1

(Disclaimer: artikel ini bakal panjang karena saya benar-benar merangkum impresi saya selama kelas berlangsung. So sit back, relax, and enjoy!)

Hi Dialers!

Selamat datang kembali di seri artikel impresi kelas filsafat dasar LSFD. Bersama saya, mbak-mbak baru lulus yang masih mengincar kesempatan bergaul dengan dedek-dedek kuliah gemes ๐Ÿ˜๐Ÿ˜†. Seperti janji saya sebelumnya, kali ini saya akan mengupas tuntas segala impresi, keseruan, dan barisan aktivitas yang dilaksanakan saat kelas residensi hari pertama. Tanpa banyak basa-basi lagi, yuk simak selengkapnya di bawah!

(source)

Very First Impression tentang Tempat Kelas Residensi

Halaman Depan Dialectic Gallery, tapi foto ini bukan kelas filsafat dasar yaa (source)

Kelas residensi dua hari berturut-turut digelar di Dialectic Gallery yang terletak di Jalan Sumbing. Lokasi galeri seni adem nan asri ini jaraknya hanya beberapa rumah di belakang Malang Strudel. Dialectic Gallery sendiri adalah rumah lawas dari seorang seniman bernama Pak Bambang SW.  Ia disulap menjadi sebuah galeri seni yang tak besar tapi sangat sangat homey dan bikin betah sekali๐Ÿ’–.

Di bagian depan bangunan galeri pun, terdapat sebuah halaman yang dihiasi rerumputan hijau dan pohon Plumeria yang rindang. Sehingga, tidak heran kalau galeri ini sering juga dijadikan spot yang intimate untuk acara bedah buku, seminar, dan acara seni/kebudayaan lainnya. Pertama kali ke galeri ini, saya auto jatuh cinta sekaligus agak merasa kuper juga. Pasalnya, selama lebih dari dua puluh tahun hidup di Malang, saya baru tahu kalau ternyata ada spot galeri seni yang se-asoy ini. 

Bagian Dalam Galeri

Menurut jadwal sih, kelas bakal dimulai pukul 1 siang. Tapi ya, namanya juga jam karet Indonesia, kelas baru dimulai pukul setengah 2 siang gara-gara menunggu banyak peserta yang belum datang. Saya sendiri sampai di tempat pada pukul 1 kurang dan bertemu dengan peserta lain yang bernama Mida. Mbak-mbak ini asalnya dari Cianjur dan berkuliah di Sastra Cina UB. Beruntung kemarin malam, kami sudah saling berkenalan. Jadinya kami anti awkward deh haha.

Ciluk ba...
Sebelum kelas dimulai, Mida mengajak saya untuk melihat-lihat beberapa lukisan yang terpampang di galeri. Dan saya pun menahan tawa ketika mendapati lukisan portrait Karl Marx di sebuah ruangan galeri. Tenang, tenang, beliau hanya dianggap sebagai seorang tokoh kok di galeri ini. Kegiatan kelas ini tidak akan ada propaganda komunisnya kok. Mungkin nanti, di sesi kelas reguler pun hanya akan meninjau teori yang beliau kemukakan saja. Ibaratnya, bak membahas teori kritik sastra ala Marxism di perkuliahan saya dulu hehe.

Kelas Metafisika

Sekilas tentang PPT Materi Metafisika dari Mbak Dika
Nah, materi pertama yang akan disampaikan pada kelas residensi I ini adalah materi tentang metafisika. Mantap lah, saya selama ini pening sendiri kalau belajar tentang materi filsafat yang satu ini. Namun di lain sisi, saya juga lumayan menggemarinya karena dia mempertanyakan hal-hal yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak saya. Secara sederhana, metafisika ini bakal membahas hal-hal non-fisik untuk dibahasakan secara fisik. Sedangkan secara personal, bagi saya belajar metafisika sama dengan memantik naluri keragu-raguan saya akan unsur keberadaan dan ketidakberadaan. Pun, ia menantang saya untuk menemukan makna di balik sesuatu yang bisa saja melampaui aneka ranah yang tampak. Anda bingung? Sama, saya juga kok๐Ÿ˜.

Saya pun penasaran dengan siapa pemateri yang akan memandu para peserta menuju kepeningan yang hakiki ini. Usut punya usut, ternyata pematerinya adalah Mbak Dika Sri Pandanari. Jujur saja ya, saya awalnya sempat skeptis kalau pemateri filsafatnya adalah seorang perempuan. Dalam hati, saya seperti meremehkan dan mempertanyakan, apakah seorang perempuan mampu membawakan materi filsafat seberat ini dengan baik? Gila memang sih, saya pun baru sadar kalau saya ternyata punya cara pandang yang se-sexist itu๐Ÿ˜ถ.

Tapi faktanya, saya keliru. Saya keliru sekeliru-kelirunya, deh. Mbak Dika ini ternyata sudah punya sepak terjang yang alamak karena dia sudah banyak mengisi kuliah tamu seputar filsafat di universitas seperti UIN, UMM, hingga universitas saya sendiri yakni UM. Dia pun sekarang sedang menempuh pendidikan S2 Filsafat di STF Widya Sasana Malang.

Dan asli, penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Mbak Dika ini gampang banget untuk dicerna dan bisa dibilang amat mengalir. Analogi-analogi yang dipakai pun sederhana dan mudah dimengerti. Seperti saat menjelaskan prinsip kausalitas Aristoteles, yang mana merupakan pembuktian atas sanggahan teori pancaran dunia ide Plato, Mbak Dika cukup menggunakan analogi mie ayam. Kausalitas Aristoteles yang terdiri dari kausa materia, kausa forma, kausa efficientis, dan kausa finalis secara berurutan dijabarkan menjadi bahan mie ayam, bentuk yang menaungi mie ayam, penyebab mie ayam (dalam hal ini penjual), dan tujuan diciptakannya mie ayam (entah itu untuk dimakan atau yang lainnya).

(source)
Selain menjelaskan metafisika klasik yang erat hubungannya dengan Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas (sebenarnya itu baru beberapa dari segelintir, sih), materi dilanjutkan ke perdebatan-perdebatan metafisika modern yang mulai masuk ke ranah Immanuel Kant, Husserl, Heidegger, dan sedikit tentang Marx. Ada pembahasan selintas mengenai Ontologi, Fenomenologi, Kosmologi, dan Dua Mode Ia juga.

Selesai materi, para peserta pun disuguhi sebuah video dari Vice (p.s. I love Vice to the moon and back๐Ÿ’–) yang menguak kisah tentang 'the most polluted city on earth'. Kota ini bertempat di Cina dan bernama Linfen. Saking parahnya, bernafas di sana kabarnya sama saja dampaknya dengan merokok sebanyak 3 pack! WellI'm not a freakin' enviromentalist— tapi, melihat betapa edannya efek samping industri batubara di sana bikin saya agak geram juga๐Ÿ˜.

Salah Satu Pertanyaan untuk Kelompok dan Bonus Candid Mbak Dika hehe 

Nah, di sinilah para peserta akhirnya dibagi menjadi beberapa kelompok dan disuruh menelaah video ini berdasarkan beberapa pertanyaan metafisika tadi. Sehingga, diharapkan metafisika bisa dijadikan alat untuk mengetahui asal muasal dan substansi dari suatu permasalahan. Kebetulan kelompok saya (Mas Daus Psikologi UMM, Nico IT UB, sama satu lagi mas siapa ya haha maaf lupa๐Ÿ˜…) kebagian pertanyaan untuk menelusuri dan mendefinisikan hubungan kualitas Aristotelian mengenai problema dalam video. Kalau mau dijabarkan jawaban kelompok saya dan feedback dari Mbak Dika mungkin bakal kepanjangan artikelnya. Jadi, tidak usah saya taruh dalam artikel ini ya? Sebagai gantinya, kalau mau ikut menonton videonya, silahkan putar di bawah ini nih๐Ÿ˜€.




Kelas Meditasi oleh Falun Dafa

Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah 4 sore. Para peserta diperbolehkan untuk ishoma. Selanjutnya, kelas disambung dengan aktivitas meditasi dari sebuah komunitas bernama Falun Dafa. Mbak Dika pun sudah menjelaskan sebelumnya bahwa ia sengaja memilih komunitas ini karena tidak terkoneksi dengan suatu agama mana pun. Kalau pun ada peserta yang tidak bersedia ikut meditasi dengan alasan tertentu juga tidak apa-apa kok. Haha, kalau saya sih malah penasaran ya seperti apa model meditasi yang ditawarkan. Karena saya yang cupu ini memang belum pernah ikut yang begitu-begituan๐Ÿ˜….

(source)

Lagi-lagi, dalam mindset sotoy saya, saya mengira bahwa meditasi ini bakal cuma duduk-duduk santuy sambil merem sampai saya akhirnya bakal ketiduran pulas. Namun tak disangka, ternyata meditasi ini malah bikin keringetan juga (hiks๐Ÿ˜“). Gerakan-gerakannya memang sederhana, tapi diulang-ulang, dan beberapa ada yang ditahan hingga sekitar tujuh menitan. Alhasil, ada satu gerakan yang bikin pundak kiri saya rasanya sampai berat maksimal bak kembali ditumpangi beban-beban nyekripsi kemarin๐Ÿ’€.

Tapi syukur deh, saya bisa menyelesaikan semua gerakan dengan (cukup) baik. Soalnya, ada beberapa peserta yang tidak kuat melanjutkan karena merasa mual atau encok di bagian tulang punggung๐Ÿ˜‚. Sang praktisi meditasi pun menegaskan bahwa itu adalah proses pemurnian. Alias tandanya, ada beberapa peserta yang kemungkinan mengalami penyakit namun baru terdeteksi lewat proses meditasi ini. Widih, ngeri-ngeri sedap kan?

(source)
Di pose terakhir, ada instruksi untuk melakukan pose sila ganda nih. Setelah sila ganda, lalu dilanjutkan dengan pose chinyin (kalau penasaran model pose-nya bisa browsing sendiri ya hehe). Nah, ada beberapa peserta juga yang mengaku kesulitan atau bahkan tidak bisa sama sekali mempraktikkan sila ganda ini. Lalu, dengan entengnya si praktisi bilang bahwa itu pertanda peserta itu kebanyakan dosa, sehingga ia tidak mampu mengeksekusi pose sila ganda tersebut. Serentak, kami semua langsung tertawa lepas dong (syukur kalau begitu dosa saya enggak numpuk-numpuk amat๐Ÿ˜Ž๐Ÿ˜).

Oh iya, kalau mau bergabung dengan komunitas Falun Dafa, bisa banget kok menyambangi mereka di Car Free Day Ijen setiap hari Minggu. Bergabung dengan Falun Dafa pun tidak akan dipungut biaya karena sifatnya adalah kegiatan sosial. Komunitas Falun Dafa sendiri katanya sudah tersebar di 114 negara di dunia. Nanti, para anggotanya tak akan hanya dibimbing untuk meditasi secara raga namun juga dari segi meditasi jiwa. Bagaimana? Tertarik untuk ikut bergabung?


------ TO BE CONTINUED ----- 
Share:

(Impresi Day 1) Kelas Filsafat Dasar LSFD 2019: Pengenalan LSFD dan Pengantar Berfilsafat

(Disclaimer: artikel ini bakal panjang karena saya benar-benar merangkum impresi saya selama kelas berlangsung. So sit back, relax, and enjoy!)

Hi Dialers!

Sudah dua tahun sejak tulisan terakhir saya di blog ini; rasanya rindu sekali! Bukannya tanpa alasan— 2018 and 2019 were the wildest roller coaster rides— mengingat saya bergulat dengan detik-detik akhir perkuliahan disertai dengan aktivitas kerja sambilan pada waktu itu.

Setelah akhirnya wisuda bulan Juli lalu, barulah saya bisa sedikit menghela nafas lega. Kebetulan hingga bulan ini, saya belum melamar pekerjaan ke instansi mana pun๐Ÿ˜‚. Saya masih keasyikan jadi freelancer. Sebodoh amat dengan mereka yang (mungkin dalam hati) nyinyir saya belum juga kerja dengan definisi ngantor di sebuah instansi. Pasalnya, saya mau sejenak 'menikmati kebebasan' ini dulu. Caranya? Mungkin dengan menjajal kegiatan-kegiatan yang belum atau tidak sempat saya ikuti di masa-masa nyekripsi terdahulu.

Salah satunya adalah dengan mengikuti kelas filsafat dasar di sebuah komunitas bertajuk Lingkar Studi Filsafat Discourse (LSFD) Malang. 

(source)

Kelas filsafat dasar ini (sepertinya) diadakan setiap tahun. Sayangnya, di tahun 2018 kemarin saya terlambat mendaftar plus memang tidak ada waktu. Dan buat yang belum tahu, saya ini suka belajar filsafat (meski tidak semua cabang filsafat, ya). Sehingga, keberadaan komunitas ini bagaikan hembusan angin segar bagi saya yang kerap merasa 'sempit' ketika belajar filsafat sendirian. Artian 'sempit' di sini bukan mengarah pada ekstremitas saya pada sebuah ajaran tertentu, namun lebih kepada saya merasa interpretasi saya bakal 'itu-itu saja' kalau saya belajar filsafat sendirian. Mau diskusi dengan teman sekitar pun, tak semuanya sudi meluangkan waktunya bercengkrama tentang hal-hal 'transendental' semacam ini. Alhasil, mengikuti kelas filsafat dasar LSFD senantiasa jadi hal yang masuk ke bucket list saya


Oh iya, alasan lebih jauh kenapa saya berminat ikut kelas ini adalah demi proses belajar filsafat yang lebih sistematis— yakni dengan belajar filsafat dari dasar dan akar-akarnya. For your information, selama ini saya belajarnya selalu random, seperti dari baca Nietzsche lalu tiba-tiba baca Immanuel Kant. Kan pusing. Makanya, dengan ikut kelas ini saya berharap punya pegangan ilmu yang kuat dan tak ambyar ketika belajar filsafat secara mandiri di kemudian hari.

Pendaftaran Kelas Filsafat Dasar LSFD 2019

Pucuk dicinta ulam pun tiba, LSFD membuka pendaftaran kelas tersebut di awal Oktober ini. Biaya pendaftarannya Rp150.000,-. Terdengar mahal memang— tapi bagi saya, itu tidak sebanding dengan sederet 'harta karun' (e.g. ilmu yang berguna, teman-teman baru, pengalaman menarik) yang bakal saya dapatkan nantinya. Toh biaya itu juga sudah termasuk biaya konsumsi di beberapa sesi pertemuan, sertifikat, blocknote, hingga sebuah modul filsafat yang ciamik. Jauh sekali kan dari kata 'merugi'?

Online Form Kelas Filsafat Dasar LSFD 2019

Kelas filsafat dasar LSFD pun akan diselenggarakan secara nomaden di beberapa tempat super artsy seperti Dialectic Gallery dan Semeru Art Gallery. Pokoknya, setelah transfer biaya pendaftaran, langsung saja isi online form yang disediakan dan konfirmasi ke CP agar dimasukkan ke grup. Isi online form-nya adalah permintaan pengisian data diri dan minat seputar filsafat. Kalau pun kalian lagi bokek tapi ngebet ingin ikutan kelas ini, it's no problemo. Sebab biaya kelas ini bisa dibayarkan dengan cara mencicil atau bayar saat pertemuan. Kurang enak bagaimana, coba?

Impresi Pertemuan Perdana


Sorry ya nge-blur hihi

Pertemuan pertama pun dilaksanakan tanggal 18 Oktober pada pukul 7 malam di Sekber LSFD. Tema pertemuannya masih seputar Pengenalan LSFD dan Pengantar Berfilsafat. Kayak reorientasi gitu, deh. Saya tak dinyana merasa beyond excited karena bakal berjumpa dengan teman-teman baru (maklum udah enggak kuliah, jadi semacam kangen suasana ketemu teman-teman gitu huhu๐Ÿ˜”).

Dalam mindset saya waktu itu, kemungkinan besar yang ikut kelas ini tak lebih dari 10 orang jumlahnya. Dan juga, untuk para peserta mahasiswa, yang ikut mungkin hanya dari golongan jurusan kuliah tertentu seperti teologi, filsafat, sastra, politik, atau ilmu humaniora lainnya saja (prediksi sotoy efek teman main yang kurang jauh๐Ÿ˜…). Eh ternyata, sesampainya di sana, pesertanya lebih dari 30 orang, tjoy! Sudah begitu, ada juga yang datang dari prodi-prodi tidak terduga seperti Administrasi Bisnis, Ilmu Kelautan, Teknik Mesin, hingga Promosi Kesehatan! Terdapat pula peserta dari jenjang pendidikan SMA dan umum. Keren, kan?

Lucunya lagi, baru kali ini saya jadi 'kaum minoritas'. Sebab di kelas ini— seperti yang sudah bisa ditebak— pengikutnya kebanyakan adalah Kaum Adam. Sementara dulu, di prodi saya (Sastra Inggris) mayoritas isinya adalah Kaum Hawa. Saya sih tidak ada masalah yang bagaimana-bagaimana ya dengan hal ini. Cuma ya begitu, saat pertemuan perdana ini saja, saya bak kehabisan oksigen karena hampir satu ruangan pada merokok semua. Dan sebenarnya, hanya ini sih kendala yang menurut saya bisa dibilang agak mengganggu.

Aktivitas pada Kelas Perdana 

Kelas pun dimulai dengan pengenalan dan sambutan dari beberapa anggota LSFD seperti Mas Ricky dan Mas Rijal. Pada intinya, LSFD adalah sebuah komunitas belajar filsafat di Malang yang juga aktif di media sosial. Diungkapkan bahwa tidak ada yang namanya senioritas atau keterikatan di LSFD karena basisnya sendiri adalah sebuah komunitas. Siapa pun boleh ikut dan bisa belajar bersama. LSFD pun punya banyak agenda selain kelas filsafat dasar ini seperti Ruang Dialektika, acara bedah buku, podcast Youtube, diskusi dan ngaji filsafat, serta masih banyak lagi.


Nah, tak lama setelah pengenalan singkat mengenai LSFD, langsung deh para peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk main-main selama dua sesi. Sesi pertama adalah sesi Appreciation Inquiry, di mana setiap kelompok disuruh menuliskan hasil diskusi kelompok dari pertanyaan dream (apa yang ingin dicapai dalam belajar filsafat), discovery (pendapat mengenai belajar berfilsafat), design (metode belajar filsafat seperti apa yang paling disukai) dan cara pengaplikasiannya.

Waktu itu saya satu kelompok dengan dua anak Ilmu Pemerintahan UMM (Nafis dan Bisma) dan satu anak Administrasi Bisnis UB (Wildan). Apakah saya minder sebagai anak sastra sendiri? Tentu tidak, dong. Justru saya highly curious dengan pendapat-pendapat dari mereka, nih. Setelah berdiskusi dan  merangkum pendapat-pendapat kami, we eventually came up with these answers: untuk menambah wawasan baru dan menjadi manusia yang lebih bijak ke depannya berkat perspektif-perspektif luas dari filsafat. Mendengar pendapat dan cita-cita pencapaian belajar filsafat di atas, saya sampai menahan tawa mengingat diri saya yang aslinya tak semulia itu. Ya, tapi tak apalah, namanya juga pencitraan wkwk๐Ÿ˜‚.

Sedangkan untuk pertanyaan design, si Wildan mengusulkan salah satu metode belajar paling unik seantero galaksi Bima Sakti bertajuk SGD (Senam Group Discussion). Metode tersebut isinya adalah sesi diskusi buku-buku filsafat seraya mendengarkan musik lo-fi lalu dilanjutkan dengan aktivitas senam-senam santai. Semacam ngakak sih, tapi boleh juga lah ya๐Ÿ˜‚.

Setelah beberapa menit berlalu, setiap kelompok disuruh presentasi tentang hasil diskusi mereka. Asli, jawaban mereka rata-rata out of the box semua. Ada yang ikut kelas filsafat karena ingin 'tersesat' untuk mendapatkan kebenaran ๐Ÿ˜‚. Ada pula yang menyampaikan design metode belajar filsafat mereka dengan cara belajar sambil minum kopi dan mendengarkan lagu-lagu indie (wetseh ๐Ÿ˜†).


Sebagus, se-garing, se-kreatif, se-nyeleneh, dan se-tidak umum apa pun jawaban dari sebuah kelompok, kita harus menghargai pendapat mereka dengan cara bertepuk tangan. Boleh menyanggah, tapi tidak dengan menjatuhkan pendapat tersebut. Begitulah instruksi dari Mas Rio sebagai pemateri pada hari itu. Simpel sih, tapi mengena juga di hati karena dewasa ini, banyak orang yang tak mampu menyikapi perihal perbedaan pendapat dengan baik. Padahal, yang namanya perbedaan pendapat adalah hal yang tak bisa dihindari. Dengan begini, sesi ini tak hanya mengundang canda dan gelak tawa bagi semua peserta, tapi juga sebuah pelajaran tentang berapresiasi.

Lanjut ke sesi kedua, masih dalam kelompok yang sama, para peserta dibagikan sebuah kartu yang isinya bisa kosong namun bisa juga mengandung sebuah kata. Lalu, tugas kelompok adalah untuk membuat jokes berdasarkan kata yang didapat tersebut. Kalau kartunya kosong, maka bebas menggunakan kata apa pun. Sialnya, kelompok kami dapat kartu yang di dalamnya terdapat tulisan 'induktif''.

Dang! Di situ saya baru sadar kalau kata yang ditulis di beberapa kartu pasti ada hubungannya dengan filsafat. Kelompok saya sempat bingung karena ternyata kami berempat adalah anggota setia partai humor receh. Tapi tidak apa-apa, untungnya kami bisa mengeksekusi jokes kami meski ia tidak lucu-lucu amat๐Ÿ˜…. Yang terpenting, Mas Rio bilang bahwa tujuan dari sesi kedua ini ialah agar para peserta tidak tegang mempersiapkan diri belajar filsafat atau belajar berfilsafat. Proses belajar filsafat tentunya harus dimulai dengan perasaan yang fun. Dan dibuktikan dari kebahagiaan para peserta di malam itu, seharusnya tujuan tersebut bisa dinyatakan berhasil.

Kopi Selalu Tersedia 
Selesai dari situ, diumumkan bahwa esok harinya akan dilaksanakan kelas residensi selama dua hari ke depan berturut-turut. Durasinya per hari dimulai dari pukul 1 siang hingga pukul 9-10 malam. Beruntung saya memang lagi tidak ada kerjaan yang bagaimana-bagaimana; jadi ya, saya oke-oke saja dengan durasi tersebut. Tujuan kenapa durasi kelas residensi ini terbilang cukup lama adalah karena memang kelas ini berguna untuk drilling materi-materi dasar filsafat seperti metafisika, estetika, epistemologi, logika, dan etika. Selama kelas residensi juga bakal diselingi dengan kegiatan meditasi yang praktisinya didatangkan dari sebuah komunitas meditasi lintas agama. Asyique!๐Ÿ˜

Secercah Kesimpulan tentang Kelas Perdana

Kesimpulan yang bisa saya ambil dari kelas perdana ini adalah: ternyata saya tidak sendirian. Terlepas dari perbedaan minat dari para peserta dalam mempelajari filsafat, entah itu karena memang suka atau hanya iseng-iseng belaka saja, saya merasa akhirnya saya bisa berjumpa dan belajar bersama sesama orang-orang yang 'tersesat' ini. Dari pertemuan ini juga, saya mendapat disclaimer bahwa nantinya dalam proses belajar ini, saya harus sadar akan etika saling menghargai pendapat plus jangan terlalu tegang biar tidak stres๐Ÿ˜‹.

Oke, sampai di sini dulu ya impresi day 1 dari kelas filsafat dasar LSFD 2019 ini. Maaf kalau tidak banyak dokumentasi foto karena waktu itu terlalu bersemangat sampai lupa mau ambil foto haha. Untuk pengalaman dan cerita keseruan saat kelas residensi, saya akan membeberkannya di artikel selanjutnya. Alhasil, terima kasih sudah membaca ya! Semoga bermanfaat!
Share:

Tuesday, October 22, 2019

Tahu Campur Langganan: A Story of Quarter-Life Crisis

(Disclaimer: artikel ini tidak akan membahas definisi dan teori tentang Quarter Life Crisis secara gamblang, melainkan lebih kepada refleksi penulis akan krisis tersebut. Enjoy!)


Hari ini seharian hujan. Maklumlah, ini bulan November: bulan di mana ada banyak teman yang berulang tahun, namun suasananya tetap gloomy, karena langit senantiasa terlukis oleh barisan para mega mendung. Dan entah bagaimana, menurut saya hari ini adalah salah satu hari perkuliahan yang paling absurd. Saya tidak mau membeberkan alasannya, tapi cukuplah saya memberinya label sedemikian rupa. Saya masuk kuliah sekitar jam delapan pagi dan perkuliahan selesai pada jam lima sore: inilah yang saya sebut dengan rutinitas sehari-hari. Tapi ternyata, jam terakhir perkuliahan hari ini kosong. jadilah saya diajak berkaraoke oleh seorang teman perempuan saya. 

Kami pun hanya berkaraoke selama satu jam. Lepas itu saya mengantarkan teman saya tersebut pulang dan menumpang untuk salat Maghrib di rumahnya. Dan tak lama, saya sudah kembali berada di jalanan, dengan tangan kanan memaju-mundurkan gas sepeda motor dalam keadaan co-pilot alias setengah sadar. Menerpa dinginnya udara malam sambil berpikir keras untuk mengisi perut dengan menu makanan apa. 

Ilustrasi tahu campur (source)

Awalnya benak saya mengatakan untuk makan sate ayam saja. Namun entah kenapa, saya malah spontan berbelok ke sebuah warung tahu campur di daerah Sawojajar, yang mana dahulu merupakan tempat makan langganan keluarga. Demi apa, saya tidak pernah sekalipun makan di sana sendirian; saya selalu makan di sana bersama kedua orang tua dan adik lelaki saya. Saya tak akan bisa lupa kebiasaan ayah saya yang selalu memesan tahu campur dengan tulang muda. Sedangkan ibu saya selalu tidak mau pakai menyok (perkedel singkong) dan minta tambah petis. Kalau adik saya, ia tidak makan tahu campur tapi dipesankan sate ayam di warung sebelahnya, soalnya dulu ia masih kecil. 

Ya, sudah sangat lama saya tak mampir kemari semenjak perceraian orang tua saya enam tahun silam.  

Saya akhirnya memberanikan diri untuk memesan pada si penjual— yang ternyata juga sudah turun generasi. Bila dahulu si penjual adalah seorang bapak-bapak ramah yang memanggil saya dengan sebutan 'si pesek' (si hidung tak mancung), kini posisi penjual tersebut sudah digantikan oleh anak beliau. 

Sebagian perasaan saya merasa senang, karena saya jadi tidak perlu basa-basi menjawab pertanyaan tentang bagaimana keadaan orang tua saya dan kenapa kami tidak pernah ke sini lagi bersama-sama. Namun begitu, sebagian perasaan saya juga merasa sedih, karena unsur nostalgia yang saya cari di warung ini jadi tereduksi. Tanpa saya sadari, dunia seketika menjadi lebih 'dingin'. Segalanya serentak terasa baru, asing, dan menyesakkan. 

Kala duduk menunggu pesanan datang, saya belum mengalami momen keruntuhan mental yang berarti. Namun, sesudah pesanan datang dan saya mengambil sebungkus kerupuk untuk dipatahkan jadi dua, tiba-tiba kedua mata saya terasa berat sekali. Saya ingat ibu saya yang selalu melakukan hal itu untuk memudahkan saya mencelupkan kerupuk tersebut pada kuah tahu campur. Baru saat itu, saya makan dengan hati bak teriris sembilu. 

Sepulang dari warung tahu campur, saya menyetir dengan pikiran yang lebih berkecamuk. Kendati sebenarnya, saya sudah muak mempertanyakan hal-hal tersebut. Tentang bagaimana saya mau tidak mau harus mengakui derasnya arus perubahan, menerima baik-buruknya takdir, berpuasa mengutuk dan berhenti mencari kambing hitam— singkatnya, menjalani dongeng-dongeng kebajikan tentang beranjak dewasa.


Hi, Dialers!

Saya baru ingat kalau kisah tersebut saya tulis di tahun 2017. Dia sudah mangkrak di draft, dan saya benar-benar lupa kalau pernah menuliskannya di sini. Saya ingat kala itu, sesampainya di rumah, saya langsung menulis cerita tersebut lantas pergi tidur (kebiasaan mutlak saya kalau sedang sedih). Faktanya, setelah saya baca ulang, saya masih bisa merasakan dan terhanyut dalam kesedihan itu. Seakan-akan, kejadian tersebut masih baru terjadi kemarin. 

Kendati begitu, saya lega kejadian itu pernah hadir, dan sejatinya ia juga telah berlalu.

Mungkin, kesedihan di hari itu bisa begitu mendayu karena efek cuaca dan galau belum dapat judul skripsi. Di awal usia kepala dua, saya nampaknya mulai terjangkit virus mengerikan Quarter Life Crisis. Ya, tak usah menunggu sampai momen lulus kuliah, pontang-panting mencari kerja, atau saat mulai panik ditanya 'kapan nikah?' datang, saya pun sudah bisa diserang oleh krisis bajingan tersebut. Krisis di mana saya mulai beranggapan bahwa seakan menjadi dewasa sama halnya dengan 'berhenti meminta bantuan'. 

(source)

Adapun yang bisa saya katakan saat ini mengenai keadaan tersebut adalah 'It's okay. You're not the only one experiencing this shitty phase. You'll manage to get through.' 

Pasalnya, saya ingat waktu dini harinya, saya tiba-tiba terbangun dan malah mendapat ide untuk mengangkat krisis ini sebagai tema skripsi saya. Saya memang tidak secara eksplisit mengambil tema itu, sih. Tapi masih erat lah kaitannya karena mengacu pada karya sastra yang memuat nilai psikologi perkembangan ala emerging adult. Jika diingat lagi, krisis tersebut malah jadi berkah juga ya?

Saya pun bersyukur saya sudah mengenal istilah krisis ini sejak dua tahun yang lalu. Padahal, krisis tersebut nampaknya baru santer diperbincangkan baru tahun-tahun ini di Indonesia. Tak percaya? Coba deh browsing. Artikel dalam negeri yang membahas isu ini rata-rata baru dipublikasikan di tahun 2019. Mungkin karena semakin kemari, semakin timbul kesadaran bahwa pergeseran nilai zaman amatlah berpengaruh dalam ganasnya proses 'penggerogotan' yang dilakukan krisis ini. 

Terlepas dari pengalaman Quarter Life Crisis saya di atas yang tidak melibatkan gadget, perlu diakui bahwa peran gadget acap kali disinggung sebagai salah satu pemicu utama sang krisis di era sekarang. Era media sosial yang lekat dengan budaya 'pamer dan membanding-bandingkan nikmat hingga kesengsaraan hidup' memang sangatlah melelahkan mental. 

(source)
Namun kembali lagi, apa pun yang memicu Quarter Life Crisis-mu, tak ada pilihan lain selain harus tetap bangkit dan berjalan.

Bahkan walau semua itu ditunaikan dengan tanpa makna atau tanpa alasan. Karena siapa tahu, sang makna memang ingin untuk dimenangkan— bersembunyi dan menunggu untuk berjumpa di balik segala rupa rasa resahmu. Atau bahkan, lupakan saja misi menjemput makna itu. Tetaplah bangkit dan berjalan hingga sang makna yang kelak kan menjemput dan memenangkanmu.
Share: