Friday, June 30, 2017

Salahkah Menjadi Seseorang yang Pesimis?

“Turning and turning in the widening gyre
The falcon cannot hear the falconer;
Things fall apart; the centre cannot hold;
Mere anarchy is loosed upon the world,
The blood-dimmed tide is loosed, and everywhere
The ceremony of innocence is drowned;
The best lack all conviction, while the worst
Are full of passionate intensity.” 

(The Second Coming, W.B. Yeats, The Collected Poems of W.B. Yeats)


Hai, Dialers!

Sebagai pembukaan, saya memang ingin memakai penggambaran topik yang bersifat dramatis (wkwk). Yap, The Second Coming adalah sajak Yeats yang menangkap kondisi miris masyarakat Irlandia pasca Perang Dunia I. Bagaimana tidak, baru saja selesai PD I, masyarakat Irlandia pun masih harus kembali merasakan pahitnya gejolak perang lewat Irish War of Indepedence. Pantas saja puisi karya Yeats ini begitu 'menyentuh' konsep pemikiran seseorang yang tanpa harapan. Thus, saya lantas meminjam karya pujangga putra Irlandia tersebut sebagai ilustrasi atas 'seperti apa sih rasanya menjadi seseorang yang pesimis'.


Menurut KBBI, seseorang yang pesimis memiliki definisi sebagai 'orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik (khawatir kalah, rugi, celaka, dan sebagainya); orang yang mudah putus (tipis) harapan'. Sedangkan menurut Wikipedia, pesimisme adalah paham yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah buruk atau jahat. Bahkan, untuk filsuf sekelas Nietzsche, Ia membawa rasa pesimis-nya pada level yang jauh lebih tinggi dengan menciptakan pandangan filosofi nihilisme— yakni paham bahwa segala aspek di dunia ini pada dasarnya tak ada gunanya. Ibaratnya, hidup ini diciptakan dengan tujuan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mati.

Hm, pathetic juga ya? Mayoritas khalayak pun acap kali memberi label bahwa pesimisme adalah hal yang condong negatif. Padahal, saya memiliki pendapat yang cukup berbeda dari yang sudah tertulis di atas. Memang saya bukanlah Spongebob Squarepants yang setiap hari berangkat ke Krusty Krab dengan mood penuh sukacita. Sebaliknya, sehari-hari saya adalah Squidward— yang mana kerap melangkah keluar dengan gontai dan cenderung skeptis melihat kehidupan orang lain di sepanjang jalan.

Sekalipun begitu, pesimisme sudah saya anggap sebagai salah satu sahabat terbaik yang saya miliki. Yup, kurang lebih dia adalah sumber penyedia rasa nyaman dalam hidup saya. Iya sih, come to think of it, pesimisme memang sarat akan jurus membohongi perasaan. Akan tetapi, nilai moralitas 'membohongi' ini relatif untuk sebagian orang. Kalau dalam opini saya, sesuai dengan cara saya menyikapi pemikiran ini, tujuan 'membohongi' ini sebenarnya baik.

image source

Let's take a look at some positive intrapersonal effects gained from being a legit pessimist.
 Jadi pada dasarnya, pesimisme ini ada tiga macam kategori: Explanatory Pessimism, Strategic Pessimism dan Pessimistic Bias. Penganut Explanatory Pessimism percaya pada pemikiran bahwa hal buruk yang terjadi dalam hidup ada hubungannya dengan kesalahan mereka atau faktor eksternal yang tak dapat diubah. Intinya, bila tertimpa nasib buruk maka mereka seperti tidak punya harapan lagi untuk mengubahnya (saya jadi teringat pada paham fatalisme).

Selanjutnya ada Strategic Pessimism, yakni jenis pesimisme yang dipakai sebagai strategi penghilang anxiety. Caranya ialah dengan menurunkan level ekspektasi sembari menyusun rencana untuk mengatasi worst-scenario outcome(s). Baru lanjut ke jenis terakhir, terdapat yang namanya Pessimistic Bias. Ia agak mirip dengan Explanatory Pessimism namun lebih menekankan pada keyakinan bahwa no matter what you do, Dewi Fortuna tak akan pernah berpihak di sisimu.

image source
Nah, kalau saya sih jujur saja akrab dengan paham Strategic Pessimism. Pasalnya, saya memakai pesimisme jenis ini sebagai pil penenang untuk menghadapi rasa cemas menunggu sebuah hasil. Siapapun tak akan menyangkal kalau berharap tinggi-tinggi itu akan menyebabkan kejatuhan yang bukan kepalang sakitnya. Maka dari itu, baiknya saya tidak muluk-muluk dalam berekspektasi. Saya berusaha untuk mengaplikasikan sikap qana'ah alias mensyukuri hasil (mau seburuk apapun hasil yang didapat). Inilah yang agak bertolak belakang dengan para optimist, yang most likely tidak siap dengan hasil yang tak memuaskan. Tak heran pada tahun 2011, ada sebuah riset yang diikuti oleh 250 pasangan dan diterbitkan di the Journal of Personality and Social Psychology, yang mengatakan bahwa— orang yang terlalu optimis akan lebih kesulitan dalam memerangi stres.

Sejatinya, pesimisme semacam Strategic Pessimism-lah yang membuat kita menjadi lebih aware, lebih rasional dan tak hanyut dalam semunya angan kebahagiaan. Dengan begini dapat dikatakan bahwa kunci ketenangan batin bisa didapat dari pemilihan paham pesimisme yang tepat. Nah, I don't insist you to be a full-time pessimist. Cuma terkadang, pesimisme itu diperlukan demi keseimbangan mental seseorang yang lebih matang.

So, salahkah menjadi seseorang yang pesimis? Meh, I don't think so.

Referensi:
http://lifehacker.com/the-benefits-of-pessimism-1620150406  
Share: