Saturday, May 27, 2017

Memori dan Rindu (It's not a scientific article but rather a free writing product of mine)

Kali ini, saya sedang ingin mengutarakan betapa saya membenci (lagi) saat-saat ketika saya terlalu aktif memikirkan hal-hal yang tak seharusnya dipikir (atau setidaknya itu menurut pandangan sempit saya). Contohnya, saat saya tengah terjaga di malam hari tanpa ada kesibukan yang berarti, saya mempunyai tendensi untuk berpikir mengenai hal yang aneh-aneh. Pikiran-pikiran liar pun melayang-layang dengan naif-nya di udara— saya bahkan bisa berpikir tentang hal super random seperti alkisah ada seseorang yang bunuh diri dengan gantung diri di langit-langit rumahnya. Sebenarnya, Ia sempat hendak berubah pikiran namun tanpa sengaja, kursi yang menahannya tersenggol oleh kakinya sendiri karena Ia terlalu gemetar (oh man). 

Nah, ada satu lagi hal yang menurut saya adalah pemikiran yang tidak penting— yang kerap kali menyiksa— namun selalu datang di saat-saat yang kosong: rindu.

Menurut definisi KBBI, rindu merupakan sebuah kata adjektiva yang berarti 'sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu' atau juga 'memiliki keinginan kuat untuk bertemu'. Bagi kebanyakan orang, rindu pun dialamatkan sebagai salah satu bentuk perasaan cinta terdalam terhadap seseorang. Namun entah kenapa, bagi saya, apabila ditinjau secara logika, rindu toh hanyalah efek samping dari kepalsuan memori. 

Well, ada sebuah kutipan dari mendiang Albert Einstein yang berbunyi
"Memory is deceptive because it is colored by today's events". Yap, kutipan di atas bagaikan sebuah wake-up call bagi saya yang kebetulan tidak mempunyai kelebihan bertajuk 'memori fotografi'. Saya seakan tersadar betapa polosnya saya untuk senantiasa terbuai dalam rindu berkepanjangan akibat detail memori yang rancu.



image source

Memori mengenai seseorang/sesuatu sejatinya akan sangat dipengaruhi oleh aneka konteks dan persepsi. Dan yang lebih menyedihkan, memori yang seharusnya lekat dengan imej objektif justru faktanya tidak bisa lepas dari yang namanya emosi. Hal ini akan menjadi lebih sensitif lagi apabila memori tersebut terkait dengan seseorang yang mempunyai dampak signifikan terhadap hidup kita, contohnya seperti memori mengenai seseorang yang kita cintai maupun memori akan seseorang yang kita benci. Pasalnya, memori tersebut mayoritas sudah terkontaminasi oleh hal-hal personal seperti perasaan dan sudut pandang kita akan orang tersebut. Masih ada pula konteks-konteks yang lainnya seperti keadaan mental kita di masa kini, keadaan mental kita di saat memori tersebut terekam maupun adanya informasi eksternal dari pihak ketiga.

Rindu jadi ibarat sebuah toksin yang dihasilkan dari kumpulan zat bias. 

Inilah yang membuat saya jadi kaku setiap mengekspresikan rindu. Kepada orang-orang yang saya kasihi, sebenarnya saya kerap merasa bersalah karena tidak mampu mentransmisikan rasa 'putus asa ingin bertemu' saya ini secara gamblang nan tulus. Pada akhirnya saya cuma bisa menyakiti perasaan mereka yang tak kalah halusnya dengan lembaran benang sutra. Ya, doakan saja semoga di kesempatan selanjutnya saya bisa jadi lebih baik lagi dalam hal mencinta dan dicintai.

Share: