Wednesday, November 8, 2017

My Selfies and The So-Called 'Das Ding An Sich' (In My Super Oversimplified Viewpoint)

Hai, Dialers!

Sebenarnya sudah lama saya hendak menulis tentang hal ini, tapi pada faktanya baru terlaksana sekarang hehe. Di artikel kali ini, saya ingin menulis tentang sebuah konsep pemikiran filsuf yang menurut saya— sekali lagi, menurut saya lho ya— exceedingly outstanding. Kenapa? Pasalnya konsep ini dapat menjawab salah satu pertanyaan 'gak jelas' saya yang sudah lama ingin saya cari jawabannya. Namun begitu, saya tidak pernah mencoba menanyakan pertanyaan ini pada orang lain karena takut mendapat jawaban yang tak memuaskan. So, what's the question? Simpel kok: kenapa ya setiap kali hendak berfoto selfie dengan kamera depan, hasil penampakan diri saya di layar sebelum tombol shutter dipencet tidak sama dengan setelah tombol shutter dipencet? Jadi, bila sebelumnya wajah atau penampakan fisik saya nampak buruk/baik di layar (e.g., pipi nampak lebih tirus, tinggi badan nampak pendek), lalu pas sudah pencet tombol shutter, hasil foto yang keluar malah justru sebaliknya.

selfie doeloe yuk (source)
Wkwk, enggak, ini bukan masalah angle, efek filter, atau pencahayaan kamera. Ini juga bukan efek saya terjangkit virus narsisme atau krisis kepercayaan diri (apalagi efek gara-gara saya tidak memakai make-up). Problema seperti ini bisa terjadi bahkan ketika kita berfoto tanpa polesan riasan apapun. Dan menurut saya, ini adalah pertanyaan yang pasti pernah terselip di benak siapa saja, alias tidak terlimitasi pada benak para Kaum Hawa saja. Kendati begitu, pertanyaan seperti ini dianggap terlalu trivial dan tak membutuhkan jawaban berarti. Padahal kalau sudah tahu jawabannya, Ia dijamin akan sedikit banyak mempengaruhi pola pikir kita dalam menilai sesuatu, utamanya dalam hal menilai diri kita sendiri.

Ya, pada dasarnya pertanyaan tadi dapat terjawab melalui konsep pemikiran Immanuel Kant yang bertajuk 'Das Ding An Sich'. Diambil dari Bahasa Jerman, frasa tersebut kurang lebih memiliki makna 'benda-dalam-dirinya-sendiri'. Gampangnya begini: bahwa penampakan objek bukanlah objek. Bahwa kita hidup dalam dunia yang sudah dibumbui lapisan-lapisan konsepsi (phenomenal world). Bahwa apa yang kita lihat bukanlah selalu apa yang sebenarnya sejati. Penglihatan (penginderaan) kita terhadap sesuatu bergantung pada hasil proyeksi 'kacamata' yang kita pakai.

Immanuel Kant (source)
So, kembali lagi pada pertanyaan seputar selfie yang tak sesuai ekspektasi, maka menurut teori Kant tersebut jawabannya adalah: kita adalah makhluk yang melihat apa yang ingin kita lihat (in this light, pada diri kita). Jika dari sudut pandang kita, fisik kita nampaknya memiliki fitur A— maka bukan tidak mungkin  ketika diabadikan di kamera, fisik kita justru menampilkan fitur A layaknya fitur A' (A aksen). Namun benarkah bahwa pandangan kita mengenai diri kita sendiri itu selalu salah (karena dipengaruhi oleh persepsi dan subjektivitas)? Apakah hasil yang diabadikan dan diperlihatkan oleh kamera selalu merefleksikan kebenaran yang hakiki?

Well, menurut Kant, toh tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Selama kita masih melihat hasil foto itu dengan mata kepala kita sendiri, kita masih perlu mempertanyakan kebenaran penampakan objek tersebut.
We simply don't possess any knowledge of what might be seemed as the sensible truth in us, for we, to be perfectly honest, are unknowable.
Nah, sekarang bandingkan dengan gambaran yang lebih besar soal bagaimana kita memandang diri kita. Bukan sekedar dari segi fisik, tapi dari segi sifat hingga kepribadian. Kalau menurut diri kita sendiri mungkin kita adalah orang yang baik, maka belum tentu di mata orang kita berwujud sama. Namun lagi-lagi, orang tersebut juga belum tentu benar, karena Ia juga melihat kita lewat persepsi-persepsi yang Ia miliki (ya keles, kan masih sama-sama manusianya, masih sama-sama subjektif).

Ya terus bagaimana, dong?

Ya pokoknya jangan salahkan kamera depan ponsel kalian kalau hasil selfie kalian jelek. Sebaliknya juga, jangan memuja kamera kalian kalau hasil foto kalian ternyata lebih baik dari apa yang sebelumnya terlihat di layar. Terapkan pula hal ini pada orang-orang yang menilai kita di luar sana.

Serta jangan punya pikiran yang sempit seakan kalian memang benar-benar sudah mengenali diri kalian lebih dari siapapun. Habisnya, siapa yang benar-benar tahu kalau kita ini memang benar-benar bermata dua dan berhidung satu?
Share: